Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku
tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan
bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan. Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan yang
beramal saleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.
(QS.AlMaidah: 8-9).
Berdasarkan ayat tersebut dapat dipahami bahwa orang beriman adalah
orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah. Menegakkan kebenaran
bukan karena menginginkan suatu jabatan, nama baik, sanjungan, hadiah dan karena
tuntutan pekerjaan, maka perbuatan tersebut belum sesuai dengan konsep
menegakkankeadilan yang ada dalam ayat tersebut. Menegakkan kebenaran bukan bersifat
sementara, bukan musiman, akan tetapi menegakkan kebenaran dalam konsep ayat
tersebut adalah menegakkan kebenaran setaiap saat, setiap waktu, dimana pun
seseorang berada, baik dalam keadaan sempit, lapang, susah, bahagia, dalam
tekanan, dalam kelapangan. Menegakkan kebenaran tidak mengenal siapa orangnya,
akan tetapi menegakkan kebenaran adalah hak setiap orang. Dengan demikian
siapapun berhak dan mempunyai kesempatan yang sama untuk menyuarakan kebenaran.
Satu diantara sekian jalan menunjukkan kebenaran, mengungkap kebenaran
adalah dengan bersaksi dengan adil dan jujur. Ketika seseorang telah menjadi
saksi atas suatu peristiwa, suatau permasalahan, maka pada saat itu ia telah mempunyai kesempatan
mengungkap kebenaran. Saksi yang adil adalah saksi yang menyatakan, mengatakan
sesuatu sesuai dengan fakta yang ia lihat atas suatu peristiwa itu sendiri.
Dengan posisi penting tersebut, maka saksi mempunyai peran utama dalam
mengungkap suatu kebenaran.
Menjadi saksi yang berpahala
adalah memberi saksi dengan adil. Saksi adil termasuk sifat orang yang beriman.
Orang beriman selalu berusaha menjadi saksi yang adil dan jujur. Adil hendaknya dilakukan hanya karena Allah,
bukan karena yang lain. Dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa kita dilarang
berlaku tidak adil. Larangan tersebut, wanti-wanti tersebut ditujukan kepada
mereka yang masih terpengaruh oleh sifat fanatik yang berlebihan terhadap
sesuatu kaum, golongan, suku, adat, budaya, partai, agama dan sebagainya. Sikap ini menunjukkan sifat fanatisme
jahiliyah.
Sikap mendahulukan golongan,
suku, alamamater merupakan perbuatan dan sikap jahiliyah, yang ketika datang Islam
sikap dan perilaku tersebut dihapuskan dan diganti dengan persatuan dan
persaudaraan berdasarkan keimanan. Dengan demikian sikap dan perilaku yang
selalu mengedepankan kesukuan, kelompok, dan almamater dihapuskan dengan datangnya Islam. Islam adalah umat
yang satu. Umat yang tidak membedakan sukua, ras, bahasa, asal-usul, kelompok
dan bangsa.
Jika dicermati era saat ini sikap fanatic terhadap suku, asal
daerah, partai politik, almamater makin kental. Apalagi sejak otonomi daerah
diberlakukan, terutama pada waktu pemilihan kepala daerah, kabupaten dan kota. Calon
pemimpin daerah tersebut dengan bangga
mengedepankan kesukuan, adat, asal daerah, partai politik. Padahal dalam
menentukan calon pemimpin asal suku,
daerah, partai politik tidak menjadi
tolak ukur, akan tetapi ukurannya adalah sikapnya, akhlaknya, kemampuannya,
kepribadiannya, kecakapannya dalam kepemimpinan. Tetapi sikap dan perilaku jahiliyah(fanatic
akut), dewasanya bangkit kembali. Kecenderungan tersebut makin terlihat tatkala
masyarakat menentukan calon pemimpin mereka. Mereka tidak peduli apakah ada
calon lain yang lebih baik dari calon yang ia dukung.
Sikap lebih mementingkan asal daerah dan suku dalam memilih
pemimpin adalah bukti nyata adanya fanatisme yang akut. Padahal fanatik akut,
fanatik berlebihan dilarang oleh Islam. Karena pada dasarnya Islam tidak menghendaki
fanatisme. Anehnya masyarakat Islam
masih terjebak dalam fanatisme, terutama dalam menentukan pilihan pemimpin
mereka. Merek lebih mengedepankan kesukuan, asal daerah, asal partai dibanding
pertimbangan kelayakan sebagai seorang pemimpin. Padahal, ada calon lain yang
lebih kompeten, lebih baik dibanding calon pilihannya, yang dipilih hanya
berdasarkan asal suku, asal daerah, almamater dan asal partai. Sikap seperti
inilah yang akhirnya akan menimbulkan ketidakadilan, ketidakadilan dalam
menentukan pilihan pemimpin yang baik,
berakhlak, ahli dan berkualitas.
Rasa kesukuan, rasa, kelompok, asal usul daerah menjadi makin dominan
dalam pemilihan kedala daerah baik kota, kabupaten bahkan propinsi. Kalau bukan
sukunya, maka calon pemimpin tersebut tidak dipilihnya, kalau bukan dari
kampungnya, makacalon permimpin tersebut tidak dipilihnya, kalau bukan dari
almamater, suku, daerah dan partainya.
Sikap tersebut membuktikan bahwa kita tidak adil dan tidak obyektif.
Hanya Karena bukan sesuku, sekampung, separtai, sealmamater kemudian menjadikan
diri berlaku tidak obyektif dan tidak adil. Maka sikap seperi ini sebenarnya
tidak sesuai dengan ajaran Islam. Islam
tidak mengajarkan dalam memilih pemimpin berdasarkan asal kampung,daerah, partai,
almamater, tetapi lebih memilih pemimpin hendaknua di dasari obyektifitas,
keadilan dan akhalak , kemmapun calon pemimpin tersebut.
Sungguh aneh jika jaman
modern ini masih banyak umat Islam yang terjebak fanatisme jahiliyah. Ada
kecenderungan masyarakat dewasa ini yang terlalu sensitive, sebagai contoh jika
suku, daerah, kelompok mereka terusik mereka mau berkelahi, tawuran hanya
karena ulah segelintir orang yang
memanfaat fanatisme kesukuan, asal daerah, organisasi dan partai. Seiring dengan makin dekatnya pemilihan calon kepada
daerah kota dan kabupaten, serta propinsi, banyak umat Islam yang terjebak
kepada ashabiyah-ashabiyah/fanatisme kedaerahan,
suku, partai politik, kelompok dan golongan.
Padahal dalam memilih pemimpin yang perlu dikedepankan adalah
obyektifitas, bukan fanatisme jahiliyah.
Seharusnya, beda adat, budaya, suku, kelompok, organisasi, almamate
dan partani tidak menghilangkan obyektifitas dan sikap adil. Jika kita masih
terjebak kepada fanatisme, maka sebenarnya kita telah menyimpang dari aturan
Allah. Sebab dalam ajaran Islam, kita disuruh untuk selalu berlaku adil, dan
tidak terpengaruh oleh kebencian dan fanatisme berlebihan. Sehingga kita memandang sesuatu dengan obyektif dalam memilih calon pemimpin. Untuk
itu, perlu kiranya kita menyadari bahwa keadilan tidak dapat ditegakkan dalam
hati dan jiwa yang masih mengedepankan sikap fantik yang berlebihan.
Perlu diingat bahwa
seseorang yang telah masuk Islam dan telah beriman, maka panggilannya “hai
orang beriman,” bukan lagi panggilan kesukuan, kelompok, organisasi dan partai.
Hal ini membuktikan bahwa ketika Islam datang, maka islam telah melebur dan
mengubur sikap dan sifat yang mengedepankan kesukuan, ras, budaya, adat,
almamater, oranganisasi dan partai politik.
Meskpun Islam menghargai perbedaan,
tetapai pada hakekatnya adalah untuk
kebaikan manusia itu sendiri.
Suku, adat, organisasi, bahasa waran kulit, partai plitik bukanlah pertimbangan
Allah dalam memandang kemuliaan manusia. Tepai dalam memandang manusia Allah
lebih melihat dan mencermati ketakwaan manusia. Hai manusia, Sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.(QS. Al-Hujarat: 13).
Jelaslah bahwa beragam bukanlah halangan untuk berbuat baik,tetapi
perbedaan adalah rahmat yang patut disyukuri. Dengan adanya perbedaan hidup
menjadi indah, dengan beraneka ragam menjadikan kita saling memahami.
Keberagaman adalah jalan menuju kebersamaan,
bukan perpecahan. Pada akhirnya kita saling berusaha mengenal satu dengan
lainnya.
No comments:
Post a Comment