18 July 2020

FANATISME JAHILIYAH



Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan yang beramal saleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS.AlMaidah: 8-9).

Berdasarkan ayat tersebut dapat dipahami bahwa orang beriman adalah orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah. Menegakkan kebenaran bukan karena menginginkan suatu jabatan, nama baik, sanjungan, hadiah dan karena tuntutan pekerjaan, maka perbuatan tersebut belum sesuai dengan konsep menegakkankeadilan yang ada dalam ayat tersebut.  Menegakkan kebenaran bukan bersifat sementara, bukan musiman, akan tetapi menegakkan kebenaran dalam konsep ayat tersebut adalah menegakkan kebenaran setaiap saat, setiap waktu, dimana pun seseorang berada, baik dalam keadaan sempit, lapang, susah, bahagia, dalam tekanan, dalam kelapangan. Menegakkan kebenaran tidak mengenal siapa orangnya, akan tetapi menegakkan kebenaran adalah hak setiap orang. Dengan demikian siapapun berhak dan mempunyai kesempatan yang sama untuk menyuarakan kebenaran.

Satu diantara sekian jalan menunjukkan kebenaran, mengungkap kebenaran adalah dengan bersaksi dengan adil dan jujur. Ketika seseorang telah menjadi saksi atas suatu peristiwa, suatau permasalahan, maka pada  saat itu ia telah mempunyai kesempatan mengungkap kebenaran. Saksi yang adil adalah saksi yang menyatakan, mengatakan sesuatu sesuai dengan fakta yang ia lihat atas suatu peristiwa itu sendiri. Dengan posisi penting tersebut, maka saksi mempunyai peran utama dalam mengungkap suatu kebenaran.

 Menjadi saksi yang berpahala adalah memberi saksi dengan adil. Saksi adil termasuk sifat orang yang beriman. Orang beriman selalu berusaha menjadi saksi yang adil dan jujur.  Adil hendaknya dilakukan hanya karena Allah, bukan karena yang lain. Dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa kita dilarang berlaku tidak adil. Larangan tersebut, wanti-wanti tersebut ditujukan kepada mereka yang masih terpengaruh oleh sifat fanatik yang berlebihan terhadap sesuatu kaum, golongan, suku, adat, budaya, partai, agama dan sebagainya.  Sikap ini menunjukkan sifat fanatisme jahiliyah.

 Sikap mendahulukan golongan, suku, alamamater merupakan perbuatan dan sikap jahiliyah, yang ketika datang Islam sikap dan perilaku tersebut dihapuskan dan diganti dengan persatuan dan persaudaraan berdasarkan keimanan. Dengan demikian sikap dan perilaku yang selalu mengedepankan kesukuan, kelompok, dan almamater dihapuskan  dengan datangnya Islam. Islam adalah umat yang satu. Umat yang tidak membedakan sukua, ras, bahasa, asal-usul, kelompok dan bangsa.

Jika dicermati era saat ini sikap fanatic terhadap suku, asal daerah, partai politik, almamater makin kental. Apalagi sejak otonomi daerah diberlakukan, terutama pada waktu pemilihan kepala daerah, kabupaten dan kota. Calon  pemimpin daerah tersebut dengan bangga mengedepankan kesukuan, adat, asal daerah, partai politik. Padahal dalam menentukan calon pemimpin  asal suku, daerah, partai  politik tidak menjadi tolak ukur, akan tetapi ukurannya adalah sikapnya, akhlaknya, kemampuannya, kepribadiannya, kecakapannya dalam kepemimpinan. Tetapi sikap dan perilaku jahiliyah(fanatic akut), dewasanya bangkit kembali. Kecenderungan tersebut makin terlihat tatkala masyarakat menentukan calon pemimpin mereka. Mereka tidak peduli apakah ada calon lain yang lebih baik dari calon yang ia dukung. 

Sikap lebih mementingkan asal daerah dan suku dalam memilih pemimpin adalah bukti nyata adanya fanatisme yang akut. Padahal fanatik akut, fanatik berlebihan dilarang oleh Islam. Karena pada  dasarnya Islam tidak menghendaki fanatisme.  Anehnya masyarakat Islam masih terjebak dalam fanatisme, terutama dalam menentukan pilihan pemimpin mereka. Merek lebih mengedepankan kesukuan, asal daerah, asal partai dibanding pertimbangan kelayakan sebagai seorang pemimpin. Padahal, ada calon lain yang lebih kompeten, lebih baik dibanding calon pilihannya, yang dipilih hanya berdasarkan asal suku, asal daerah, almamater dan asal partai. Sikap seperti inilah yang akhirnya akan menimbulkan ketidakadilan, ketidakadilan dalam menentukan pilihan pemimpin yang  baik, berakhlak, ahli dan berkualitas.

Rasa kesukuan, rasa, kelompok, asal usul daerah menjadi makin dominan dalam pemilihan kedala daerah baik kota, kabupaten bahkan propinsi. Kalau bukan sukunya, maka calon pemimpin tersebut tidak dipilihnya, kalau bukan dari kampungnya, makacalon permimpin tersebut tidak dipilihnya, kalau bukan dari almamater, suku, daerah dan partainya.

Sikap tersebut membuktikan bahwa kita tidak adil dan tidak obyektif. Hanya Karena bukan sesuku, sekampung, separtai, sealmamater kemudian menjadikan diri berlaku tidak obyektif dan tidak adil. Maka sikap seperi ini sebenarnya tidak sesuai dengan ajaran Islam.  Islam tidak mengajarkan dalam memilih pemimpin berdasarkan asal kampung,daerah, partai, almamater, tetapi lebih memilih pemimpin hendaknua di dasari obyektifitas, keadilan dan akhalak , kemmapun calon pemimpin tersebut.

 Sungguh aneh jika jaman modern ini masih banyak umat Islam yang terjebak fanatisme jahiliyah. Ada kecenderungan masyarakat dewasa ini yang terlalu sensitive, sebagai contoh jika suku, daerah, kelompok mereka terusik mereka mau berkelahi, tawuran hanya karena ulah segelintir  orang yang memanfaat fanatisme kesukuan, asal  daerah, organisasi dan  partai. Seiring  dengan makin dekatnya pemilihan calon kepada daerah kota dan kabupaten, serta propinsi, banyak umat Islam yang terjebak kepada  ashabiyah-ashabiyah/fanatisme kedaerahan, suku, partai politik, kelompok dan golongan.  Padahal dalam memilih pemimpin yang perlu dikedepankan adalah obyektifitas, bukan fanatisme jahiliyah.

Seharusnya, beda adat, budaya, suku, kelompok, organisasi, almamate dan partani tidak menghilangkan obyektifitas dan sikap adil. Jika kita masih terjebak kepada fanatisme, maka sebenarnya kita telah menyimpang dari aturan Allah. Sebab dalam ajaran Islam, kita disuruh untuk selalu berlaku adil, dan tidak terpengaruh oleh kebencian dan fanatisme berlebihan. Sehingga  kita memandang sesuatu dengan  obyektif dalam memilih calon pemimpin. Untuk itu, perlu kiranya kita menyadari bahwa keadilan tidak dapat ditegakkan dalam hati dan jiwa yang masih mengedepankan sikap fantik yang berlebihan.

 Perlu diingat bahwa seseorang yang telah masuk Islam dan telah beriman, maka panggilannya “hai orang beriman,” bukan lagi panggilan kesukuan, kelompok, organisasi dan partai. Hal ini membuktikan bahwa ketika Islam datang, maka islam telah melebur dan mengubur sikap dan sifat yang mengedepankan kesukuan, ras, budaya, adat, almamater, oranganisasi dan partai politik.

 Meskpun Islam menghargai perbedaan, tetapai pada hakekatnya adalah untuk  kebaikan manusia itu sendiri.  Suku, adat, organisasi, bahasa waran kulit, partai plitik bukanlah pertimbangan Allah dalam memandang kemuliaan manusia. Tepai dalam memandang manusia Allah lebih melihat dan mencermati ketakwaan manusia. Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(QS. Al-Hujarat: 13).

Jelaslah bahwa beragam bukanlah halangan untuk berbuat baik,tetapi perbedaan adalah rahmat yang patut disyukuri. Dengan adanya perbedaan hidup menjadi indah, dengan beraneka ragam menjadikan kita saling memahami. Keberagaman  adalah jalan menuju kebersamaan, bukan perpecahan. Pada akhirnya kita saling berusaha mengenal satu dengan lainnya.

 

 

 

 

 

 

 


No comments: