22 July 2020

ISLAM PEDULI ASISTEN RUMAH TANGGA



 

            Kita  berduka atas  berbagai penganiayaan terhadap pembantu rumah tangga, kekerasan demi kekerasan, kekejian dan kekejaman serta penyiksaan terhadap pembantu makin marak terjadi. Nasib para pembantu sangat menyedihkan dan memiriskan hati, maksud hati untuk memperbaiki nasib tetapi yang terjadi malah tersiksanya diri. Penyiksaan demi penyiksaan terus dialami pembantu, mereka bekerja menjadi pembantu untuk memperbaiki nasib, mengangkat ekonomi keluarga, meskipun dengan menjadi pembantu, tetapi dalam hati mereka masih ada keinginan kuat untuk tidak membebani orang lain. Mereka tidak pernah merasa hina bekerja menjadi pembantu di rumah keluarga lain, karena mereka percaya  bahwa menjadi pembantu adalah pekerjaan mulia dan halal.

            Tetapi, kenapa nasib mereka selalu dipinggirkan? Kenapa kekerasan demi kekerasan selalu mewarnai hidup mereka? Bukankah mereka bekerja untuk para majikannya? Para pembantu bekerja bukan untuk disakiti, dianiaya, disiksa, atau bekerja untuk tidak dibayar? Pembantu juga manusia, mereka membutuhkan perlindungan, hewan saja dilindungi apalagi pembantu? Pembantu adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan social manusia. Adalah zalim menyiksa, menganiaya dan menahan gaji pembantu. Padahal dengan gaji tersebut para pembantu berharap suatu saat nasibnya akan berubah.

 Pembantu bekerja untuk memperbaiki nasib dirinya,  orang tua, saudara-saudara  mereka. Pembantu  terlahir bukan untuk dijadikan obyek penyiksaan, penganiayaan, dan kekerasan, pembantu  adalah kenyataan sosial, mempunyai hak untuk dilindungi kehormatan, hak milik, harta, jiwa, kebebasan berekpresi, berbicara, perlindungan hokum, yang semua itu dipunyai oleh setiap orang, apakah itu para pembantu, majikan, orang miskin, kaya, orang biasa, pejabat, orang sakit, orang sehat dan setiap manusia  yang masih hidup mempunyai hak-hak azasi yang perlu diakui oleh siapapun.

            Manusia   mempunyai kesempatan sama untuk mendapatkan kemuliaan, tidak ada superior, maupun interior, suku, adat, bahasa, keturunan, warna kulit, jabatan dan pangkat bukanlah pembeda, bukanlah sarana untuk saling merendahkan, perbedaan status dan strata social bukan alasan untuk menjajah hak-hak azasi orang lain, karena yang membuat manusia mulia adalah ketakwaannya, jadi kita tidak berhak memproklamirkan diri sebagai orang yang paling mulia,” Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(QS. Hujarat: 13).

            Dari ayat di atas, jelaslah bahwa manusia  diciptakan berbeda-beda bukan untuk saling menganiaya dan menyiksa, atau pun saling menghinakan satu dengan lainnya, tetapi manusia diciptakan berbeda untuk saling mengenal dan saling menolong, sebab setiap manusia membutuhkan orang lain. Tidak  ada orang yang dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Ayat di atas juga mempertegas kenyataan bahwa tidak ada perbedaan antara majikan dan pembantu dalam memperoleh predikat kemuliaan, kemuliaan tidak hanya milik majikan tetapi milik semua manusia, semua manusia mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi mulia, yaitu dengan bertakwa kepada Allah.

            Dengan demikian, menjadi majikan belum tentu mulia, begitu juga menjadi pembantu juga bukan posisi yang hina, maka tidak alasan untuk menyiksa pembantu, menganiaya pembantu, atau bahkan menghilangkan nyawanya. Karena kita adalah manusia, majikan juga manusia, pembantu juga manusia, kita sama tidak ada bedanya, yang  berbeda hanya posisinya saja, antara pekerja dan majikan. Jadi tidak ada alasan untuk menindas orang lain.

            Posisi  kerja dan kedudukan bukan menjadi alasan untuk berbuat sewenang-wenang, karena satu sama lain mempunyai hak yang sama dalam kehidupan, yaitu hak azasi manusia, hak universal milik semua manusia, demikian juga majikan mempunyai hak, dan kewajiban, pembantu juga mempunyai hak dan kewajiban, yang kesemua itu akan mengarahkan cara, pola, sikap dan kebijakan yang mengarah kepada kemaslahatan bersama. Mendapatkan  hak dan sama-sama menunaikan kewajiban, dan pada akhirnya akan terjadi keadilan di antara pembantu dan majikan. Apabila hal ini terwujud dan dilakukan sesuai hak dan kewajiban masing-masing maka akan terjadi keseimbangan dan keteraturan dalam hubungan antara majikan dan pembantu.

            Islam sebagai agama universal dan rahmat bagi seluruh alam mengatur bagaimana seharusnya sikap majikan terhadap pembantu, bagaimana memperlakukan pembantu, termasuk masalah pekerjaan yang dibebankan dan sistem penggajiannya. Rasulullah Saw sangat peduli terhadap para pembantu, Rasul melarang menyiksa para pembantu, menganiaya, menyakiti dan mendiskriminasikannya. “Dari Al-Marur bin Suwaid berkata,”Aku pernah melihat Abu Dzar Al-Ghifary r.a. sedang mengenakan sepotong baju jubah, juga budaknya yang mengenakan baju serupa. Kemudian aku menanyakan hal itu kepadanya. Jawabnya,”aku pernah mencaci maki seseorang, lalu orang itu mengadukanku kepada Rasulullah Saw kemudian Nabi bersabda, Apakah kamu menghinanya karena ibunya. Sesungguhnya kamu adalah seseorang yang pada dirimu terdapat jiwa jahiliyah. Kemudian Nabi menjelaskan, sesungguhnya saudara-saudara kalian itu pembantu kalian juga, yang Allah jadikan berada di bawah kekuasaan kalian. Maka barang siapa yang saudaranya di bawah kekuasaannya, hendaklah ia memberinya pakaian seperti pakaian yang ia kenakan, janganlah kalian bebani mereka dengan apa yang memberatkan mereka, karena jika kalian membebani mereka dengan apa yang memberatkan maka bantulah.”(HR. Bukhari Muslim).

            Hadis tersebut menunjukkan bahwa pembantu hendaknya diperlakukan seperti saudara sendiri. Perlakuan ini mencakup masalah pakaian, makanan, dan tempat tinggal, kalau kita memakai baju bagus, maka menurut hadis di atas kita disuruh oleh Nabi Saw  untuk membelikannya, apabila kita tidak membelikannya, maka perbuatan kita bertentangan dengan hadis dia atas. Ada juga majikan enggan memberi pembantunya baju bagus, paling-paling baju sudah lusuh, tidak layak pakai, yang sering diberikan kepada pembantunya. Ada juga majikan pelit terhadap makanan. Terkadang makanan dibiarkan basi daripada diberikan kepada pembantu, padahal menurut ajaran Islam pembantu berhak mendapatkan makanan seprti yang dimakan majikannya.

            Majikan arif dan bijak adalah  majikan yang memberi pekerjaan kepada pembantu sesuai dengan kemampuan  pembantu,  kalau pun majikan memberi tugas berat atau diluar kemampuan pembantunya, maka menurut ajaran Islam majikan harus memberi pertolongan atau membantu kerjanya. Selain itu majikan hendaknya memberi bimbingan kepada pembantu agar pekerjaan yang dibebankan dapat dilaksanakan sesuai dengan kehendaknya (majikan).

            Majikan mempunyai kewajiban membayar hak/gaji pembantunya, kewajiban ini terkadang menjadi problem di kalangan majikan, ada kecenderungan oknum majikan yang dengan sengaja menunda gaji pembantunya, bahkan lebih parah adalah tidak membayar gaji pembantunya, tidak itu saja, majikan juga menyiksa pembantunya dengan bermacam cara, selain tidak mendapat gaji, disiksa  majikan, dipaksa untuk bekerja dan tidak diberi makan, bahkan sampai diperkosa, sikap dan perilaku seperti itu secara nyata telah menentang ajaran Rasul Saw, dan secara sah mengambil posisi melawan dan mengabaikan ajaran Rasul Saw tentang penghargaan terhadap pembantu. Padahal gaji adalah hak pembantu, dan majikan wajib membayar gaji pembantunya, dalam ajaran Islam ketika seseorang telah selesai melakukan pekerjaan sebelum keringatnya kering  gaji harus sudah dibayarkan, hal ini menunjukkan membayar gaji pekerja/pembantu hendaknya tepat waktu,”Bayarlah kepada pekerja upahnya sebelum kringkeringatnya dan beritahukanlah berapa upahnya, ketika dia masih bekerja,”(HR. Baihaqi).

            Dari hadis di atas dapat diambil pokok pemahaman, pertama majikan harus membayar upah pembantu sebelum keringatnya kering atau membayar gajinya setelah bekerja sesuai kesepakatan, dalam arti tidak boleh menunda. Kedua, majikan  hendaknya transparan dalam permasalah gaji, bahkan sebelum pembantu bekerja masalah besar gaji hendaknya sudah diketahui oleh pekerja/pembantu. Dengan adanya trnsparansi dalam system penggajian akan menjauhkan majikan dan pembantu dari perbuatan melanggar hak azasi manusia atau mungkin melanggar hokum ketenagakerjaan.

            Islam peduli kepada pekerja/pembantu dapat dicermati dari keutamaan memenuhi dan membayarkan gaji pembantu/pekerja meskipun pembantunya sedang tidak ada di tempat pada waktu itu, sikap majikan yang menjaga dan mengembangkan gaji pembantunya dengan dibelikannya binatang ternak, sehingga ternak tersbut menjadi banyak, setelah saekian lama pembantunya kembali dari tugas yang jauh, dan bertahun-tahun, sebagai majikan ia tetap memberikan hak pembantunya, meskipun gaji yang sebelumnya sedikit, lalu dengan gaji tersebut ia belikan ternak, tetapi majikan tgersebut tetap memberikan semua ternak itu, meskipun gaji pembantunya tidak sebanyak nilai ternak tersebut. Sikap majikan yang baik, membayarkan gaji pembantunya tepat waktu, dan ketika pembantunya tidak di rumah, majikan tersebut tetap membayarkan gaji pembantunya.

 Bahkan, dengan keikhlasan majikan menggunkan gaji pembantunya untuk dijadikan modal usaha peternakan sehingga gaji pembantunya berlipat ganda, dan setelah pembantunya kembali majikan tersebut memberikan gaji sekaligus semua ternak itu, majikan tidak mengambil sedikitpun dari uang gaji pembantunya. Perbuatan majikan tersebut akhirnya menjadi wasilah baginya untuk lolos dari tragedi, ketika ia (majikan) terkurung dalam goa bersama dua orang temannya. Dengan berbuat baik kepada pembantu menjadikan majikan tadi mendapat pertolongan Allah.

            Dengan demikian, memuliakan pembantu, bersikap adil dan peduli terhadap pembantu merupakan ibadah mulia di sisi Allah,  mulia karena telah membantu orang lain, mulia karena pekerjaan pembantu diberi perhatian khusus oleh Nabi Saw, bahkan Nabi Saw sendiri juga pernah menjadi pembantu Khadijah,begitu juga dengan Nabi Yusuf, dan Nabi Musa.  Fakta ini membuktikan bahwa menjadi pembantu bukan pekerjaan hina. Allahu Alam

 

 

 

 

 


No comments: