Kita
berduka atas berbagai penganiayaan terhadap pembantu rumah
tangga, kekerasan demi kekerasan, kekejian dan kekejaman serta penyiksaan
terhadap pembantu makin marak terjadi. Nasib para pembantu sangat menyedihkan dan
memiriskan hati, maksud hati untuk memperbaiki nasib tetapi yang terjadi malah
tersiksanya diri. Penyiksaan demi penyiksaan terus dialami pembantu, mereka bekerja
menjadi pembantu untuk memperbaiki nasib, mengangkat ekonomi keluarga, meskipun
dengan menjadi pembantu, tetapi dalam hati mereka masih ada keinginan kuat
untuk tidak membebani orang lain. Mereka tidak pernah merasa hina bekerja
menjadi pembantu di rumah keluarga lain, karena mereka percaya bahwa menjadi pembantu adalah pekerjaan mulia
dan halal.
Tetapi,
kenapa nasib mereka selalu dipinggirkan? Kenapa kekerasan demi kekerasan selalu
mewarnai hidup mereka? Bukankah mereka bekerja untuk para majikannya?
Pembantu bekerja untuk memperbaiki nasib
dirinya, orang tua, saudara-saudara mereka. Pembantu terlahir bukan untuk dijadikan obyek
penyiksaan, penganiayaan, dan kekerasan, pembantu adalah kenyataan sosial, mempunyai hak untuk
dilindungi kehormatan, hak milik, harta, jiwa, kebebasan berekpresi, berbicara,
perlindungan hokum, yang semua itu dipunyai oleh setiap orang, apakah itu para
pembantu, majikan, orang miskin, kaya, orang biasa, pejabat, orang sakit, orang
sehat dan setiap manusia yang masih
hidup mempunyai hak-hak azasi yang perlu diakui oleh siapapun.
Manusia mempunyai kesempatan sama untuk mendapatkan
kemuliaan, tidak ada superior, maupun interior, suku, adat, bahasa, keturunan,
warna kulit, jabatan dan pangkat bukanlah pembeda, bukanlah sarana untuk saling
merendahkan, perbedaan status dan strata social bukan alasan untuk menjajah
hak-hak azasi orang lain, karena yang membuat manusia mulia adalah
ketakwaannya, jadi kita tidak berhak memproklamirkan diri sebagai orang yang paling
mulia,” Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(QS. Hujarat: 13).
Dari
ayat di atas, jelaslah bahwa manusia
diciptakan berbeda-beda bukan untuk saling menganiaya dan menyiksa, atau
pun saling menghinakan satu dengan lainnya, tetapi manusia diciptakan berbeda
untuk saling mengenal dan saling menolong, sebab setiap manusia membutuhkan
orang lain. Tidak ada orang yang dapat
hidup tanpa bantuan orang lain. Ayat di atas juga mempertegas kenyataan bahwa
tidak ada perbedaan antara majikan dan pembantu dalam memperoleh predikat
kemuliaan, kemuliaan tidak hanya milik majikan tetapi milik semua manusia,
semua manusia mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi mulia, yaitu dengan
bertakwa kepada Allah.
Dengan
demikian, menjadi majikan belum tentu mulia, begitu juga menjadi pembantu juga
bukan posisi yang hina, maka tidak alasan untuk menyiksa pembantu, menganiaya
pembantu, atau bahkan menghilangkan nyawanya. Karena kita adalah manusia,
majikan juga manusia, pembantu juga manusia, kita sama tidak ada bedanya,
yang berbeda hanya posisinya saja,
antara pekerja dan majikan. Jadi tidak ada alasan untuk menindas orang lain.
Posisi kerja dan kedudukan bukan menjadi alasan
untuk berbuat sewenang-wenang, karena satu sama lain mempunyai hak yang sama
dalam kehidupan, yaitu hak azasi manusia, hak universal milik semua manusia,
demikian juga majikan mempunyai hak, dan kewajiban, pembantu juga mempunyai hak
dan kewajiban, yang kesemua itu akan mengarahkan cara, pola, sikap dan
kebijakan yang mengarah kepada kemaslahatan bersama. Mendapatkan hak dan sama-sama menunaikan kewajiban, dan
pada akhirnya akan terjadi keadilan di antara pembantu dan majikan. Apabila hal
ini terwujud dan dilakukan sesuai hak dan kewajiban masing-masing maka akan
terjadi keseimbangan dan keteraturan dalam hubungan antara majikan dan
pembantu.
Islam
sebagai agama universal dan rahmat bagi seluruh alam mengatur bagaimana
seharusnya sikap majikan terhadap pembantu, bagaimana memperlakukan pembantu,
termasuk masalah pekerjaan yang dibebankan dan sistem penggajiannya. Rasulullah
Saw sangat peduli terhadap para pembantu, Rasul melarang menyiksa para
pembantu, menganiaya, menyakiti dan mendiskriminasikannya. “Dari Al-Marur bin
Suwaid berkata,”Aku pernah melihat Abu Dzar Al-Ghifary r.a. sedang mengenakan
sepotong baju jubah, juga budaknya yang mengenakan baju serupa. Kemudian aku
menanyakan hal itu kepadanya. Jawabnya,”aku pernah mencaci maki seseorang, lalu
orang itu mengadukanku kepada Rasulullah Saw kemudian Nabi bersabda, Apakah
kamu menghinanya karena ibunya. Sesungguhnya kamu adalah seseorang yang pada
dirimu terdapat jiwa jahiliyah. Kemudian Nabi menjelaskan, sesungguhnya
saudara-saudara kalian itu pembantu kalian juga, yang Allah jadikan berada di
bawah kekuasaan kalian. Maka barang siapa yang saudaranya di bawah
kekuasaannya, hendaklah ia memberinya pakaian seperti pakaian yang ia kenakan,
janganlah kalian bebani mereka dengan apa yang memberatkan mereka, karena jika
kalian membebani mereka dengan apa yang memberatkan maka bantulah.”(HR. Bukhari
Muslim).
Hadis
tersebut menunjukkan bahwa pembantu hendaknya diperlakukan seperti saudara
sendiri. Perlakuan ini mencakup masalah pakaian, makanan, dan tempat tinggal,
kalau kita memakai baju bagus, maka menurut hadis di atas kita disuruh oleh
Nabi Saw untuk membelikannya, apabila
kita tidak membelikannya, maka perbuatan kita bertentangan dengan hadis dia
atas.
Majikan
arif dan bijak adalah majikan yang
memberi pekerjaan kepada pembantu sesuai dengan kemampuan pembantu, kalau pun majikan memberi tugas berat atau
diluar kemampuan pembantunya, maka menurut ajaran Islam majikan harus memberi
pertolongan atau membantu kerjanya. Selain itu majikan hendaknya memberi
bimbingan kepada pembantu agar pekerjaan yang dibebankan dapat dilaksanakan
sesuai dengan kehendaknya (majikan).
Majikan
mempunyai kewajiban membayar hak/gaji pembantunya, kewajiban ini terkadang
menjadi problem di kalangan majikan, ada kecenderungan oknum majikan yang
dengan sengaja menunda gaji pembantunya, bahkan lebih parah adalah tidak
membayar gaji pembantunya, tidak itu saja, majikan juga menyiksa pembantunya
dengan bermacam cara, selain tidak mendapat gaji, disiksa majikan, dipaksa untuk bekerja dan tidak
diberi makan, bahkan sampai diperkosa, sikap dan perilaku seperti itu secara
nyata telah menentang ajaran Rasul Saw, dan secara sah mengambil posisi melawan
dan mengabaikan ajaran Rasul Saw tentang penghargaan terhadap pembantu. Padahal
gaji adalah hak pembantu, dan majikan wajib membayar gaji pembantunya, dalam
ajaran Islam ketika seseorang telah selesai melakukan pekerjaan sebelum
keringatnya kering gaji harus sudah
dibayarkan, hal ini menunjukkan membayar gaji pekerja/pembantu hendaknya tepat
waktu,”Bayarlah kepada pekerja upahnya sebelum kringkeringatnya dan
beritahukanlah berapa upahnya, ketika dia masih bekerja,”(HR. Baihaqi).
Dari
hadis di atas dapat diambil pokok pemahaman, pertama majikan harus membayar
upah pembantu sebelum keringatnya kering atau membayar gajinya setelah bekerja
sesuai kesepakatan, dalam arti tidak boleh menunda. Kedua, majikan hendaknya transparan dalam permasalah gaji, bahkan
sebelum pembantu bekerja masalah besar gaji hendaknya sudah diketahui oleh
pekerja/pembantu. Dengan adanya trnsparansi dalam system penggajian akan
menjauhkan majikan dan pembantu dari perbuatan melanggar hak azasi manusia atau
mungkin melanggar hokum ketenagakerjaan.
Islam
peduli kepada pekerja/pembantu dapat dicermati dari keutamaan memenuhi dan
membayarkan gaji pembantu/pekerja meskipun pembantunya sedang tidak ada di
tempat pada waktu itu, sikap majikan yang menjaga dan mengembangkan gaji
pembantunya dengan dibelikannya binatang ternak, sehingga ternak tersbut
menjadi banyak, setelah saekian lama pembantunya kembali dari tugas yang jauh,
dan bertahun-tahun, sebagai majikan ia tetap memberikan hak pembantunya,
meskipun gaji yang sebelumnya sedikit, lalu dengan gaji tersebut ia belikan
ternak, tetapi majikan tgersebut tetap memberikan semua ternak itu, meskipun
gaji pembantunya tidak sebanyak nilai ternak tersebut. Sikap majikan yang baik,
membayarkan gaji pembantunya tepat waktu, dan ketika pembantunya tidak di
rumah, majikan tersebut tetap membayarkan gaji pembantunya.
Bahkan, dengan keikhlasan majikan menggunkan
gaji pembantunya untuk dijadikan modal usaha peternakan sehingga gaji
pembantunya berlipat ganda, dan setelah pembantunya kembali majikan tersebut
memberikan gaji sekaligus semua ternak itu, majikan tidak mengambil sedikitpun
dari uang gaji pembantunya. Perbuatan majikan tersebut akhirnya menjadi wasilah
baginya untuk lolos dari tragedi, ketika ia (majikan) terkurung dalam goa
bersama dua orang temannya. Dengan berbuat baik kepada pembantu menjadikan
majikan tadi mendapat pertolongan Allah.
Dengan
demikian, memuliakan pembantu, bersikap adil dan peduli terhadap pembantu
merupakan ibadah mulia di sisi Allah, mulia karena telah membantu orang lain, mulia
karena pekerjaan pembantu diberi perhatian khusus oleh Nabi Saw, bahkan Nabi
Saw sendiri juga pernah menjadi pembantu Khadijah,begitu juga dengan Nabi
Yusuf, dan Nabi Musa. Fakta ini
membuktikan bahwa menjadi pembantu bukan pekerjaan hina. Allahu Alam
No comments:
Post a Comment