Oleh; Riwayat
Apakah agama tidak lagi mampu membentengi laju degradasi moral? Sehingga setiap hari kita dijejali dengan perilaku amoral di tengah masyarakat? Keadaan ini mengelisahkan Syofyan Kudan.Sofyan Kudah dalam tulisannya,” Membentengi Moral Generasi Muda”(Singgalang, 13/02/2012)menyatakan bahwa salah satu cara mengatasi agar masalah generasi muda tidak merembes ke mana-mana (SD, SLTP, SLTA dan mahasiswa), adalah perlu terapkan pelajaran agama yang sebenarnya kepada mereka. Mengenai penerapan pelajaran agama, ada yang menarik dari pendapat Duski Samad, bahwa perkembangan sosial kemasyarakatan di Ranah Minang, seperti budaya dan agama cenderung mengarah ke sisi gelap.(Haluan/26/01/2012). Hal ini mengindikasikan bahwa keinginan untuk menapaki sejarah gemilang adat filosofi ABK SBK masih sebatas utopia, sebatas bualan yang tidak pernah membumi. Secara filosofi ABS dan SBK baik, akan tetapi tatkala bersentuhan dengan realitas aplikasi, ternyata belum berjalan dengan baik, Sehingga ABS SBK sebatas wacana yang ditinggal merana di ranah realita.
Jika halnya demikian,
maka wajar laju dan daya gebrak dari ABS
SBK menjadi melempem. Bukti dari kemandulan dari ABS SBK adalah makin
meningkatnya penyakit sosial seperti
yang disitir oleh Duski Samad tersebut, yaitu tawuran, seks bebas, narkoba,
gaya hidup semaunya, bahkan baru-baru ini tertangkap sepasang kekasih, yang
sedang mesum di dalam mobil, ironinya ternyata pelaku perempuannya adalah salah satu mahasiswi perguruan tinggi umum
negeri terkenal di kota Padang. Ini adalah fakta dan realitas dari tidak diaplikasinya dan berjalannya konsep ABS SBK di Ranah
Minangkabau ini.
Seharusnya berbagai perilaku
amoral yang terjadi di Ranah Minang ini menjadi cambukan dan tamparan keras bagi
pemuka, ninik mamak dan intelektual Ranah Minang untuk bergerak cepat bagaimana
mencari solusi yang tepat agar berbagai degradasi moral dapat dicegah dan
ditangulangi. Jika ABS SBK tidak
berjalan dengan baik, tidak membumi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, maka
yang terjadi adalah tidak terkendalinya perilaku masyarakat Minangkabau, seperti kerusakan
akhlak, dan degradasi moral. Seharusnya penerapan ABS SBK menjadi prioritas,
jika Abs SBk diyakini mampu membawa perubahan yang lebih baik terhadap berbagai
degradasi moral yang makin hari makin bertambah intensitasnya. Menerapkan ABS
SBK menjadi kian penting takla ABS SBK diyakini masih mempunyai taji untuk
diterapkan dan diejawantahkan di ranah kehidupan sosial kemasyarakatan di Rnah
Minang ini. Tetapi jika ABS SBk masih sebatas wacana, symposium,seminar dan
diskusi-diskusi massif, maka hal itu tidak akan membawa perubahan secara nyata
dalam hal perubahan sikap dan perilaku generasi dan masyarakat Minangkabau.
Maka dalam hal ini ABS SBK hanya sebuah mimpi yang tak pernah merealitas di kehidupan keseharian.
Apakah mimpi-mimpi dan
harapan bahwa ABS SBK masih layak
dijadikan filosofi kehidupan di Minangkabau? Kenapa perlu juga kita bertanya
sebab, ketika ABS SBK di gembar –gemborkan perubahan sampai saat ini belum juga
dapat dinikmati oleh masyarakat Minangkabau, kalaupun dinikmati hal itu hanya
sebatas wacana para intelektual di kampus-kampus dan berbagai forum ilmiah. Kalaupun
ada yang beranggapan bahwa ABS SBK tidak mangkus, tidak mempunyai daya untuk menahan
laju amoralitas, maka anggapan itu barangkali bukan pada tataran filosofinya,
akan tetapi dalam hal aplikasi yang
belum terealisasi dengan baik.
Jika ABS SBK terealisasi dengan baik dan nyata dalam kehidupan
masyarakat Minangkabau, maka hal ini perlu dukungan dan kerja keras berbagai
pihak, seperti ninik mamak, bundo
kandung, dan alim ulama, pemerintah dan para intelek tual untuk merumuskan
kembali konsep ABS SBk dalam bentuk yang
konkrit dan dapat diaplikasikan secara
nyata dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.
Patut juga dipertanyakan, apakah ninik mamak dan intelektual Ranah ini yang
belum serius mensosialisasikan konsep ABS SBK ditengah masyarakat, sehingga
efek dari Filosofi ABS SBK belum terasa nyata menjadi pendobrak laju amoralitas
di Ranah Minang ini? Jika letak permasalahanya pada tataran aplikasi, maka seharusnya perlu
dicari konsep yang nyata, bagaimana penerapan ABS SBK dalam kehidupan
masyarakat, apa hukumannya jika tidak melaksanakan, apa denda jika melanggar
aturannya, seharusnya ada konsep yang jelas, sosialisasi yang lebih masif.
Kalaupu sudah tertata dan terkonsep
dengan baik dan rapi, maka perlu dicarai dimana kelemahan dan kekurangan
sehingga ABS SBK tidask bejalan sebagaimana mestinya.
Akan tetapi, jika letaknya
permasalahannya ada di pembinaan keagamaan, maka pembinaan keagamaan perlu
dievaluasi kembali. Sehingga pembelajaran, pembinaan keagamaan benar-benar
mampu mengendalikan perilaku amoral. Kita patut kembali merujuk ke belakang, lima
belas dan dua puluh tahun ke belakang. Bagaimana keadaan pendidikan di Ranah
Minangkabau ini? Pakah telah berusaha membian perilaku dengan baik,atau malah
meminggirkan pendidikan akhlak, dan
cenderung mengutamakan maetrialisme belaka? Sebagaimana diketahui bahwa Perilaku masyarakat hari ini adalah hasil pendidikan masa lalu.
Barangkali lima belas tahun
atau dua puluh tahun kebelakang pendidikan keagamaan di Ranah Minang belum menjadi
bagain penting dan mungkin masih sekedarnya sehingga pemahaman keagamaan tidak menjiwai dalam setiap individu masyarakat.
Jika anggapan ini benar, bahwa perilaku masyarakat yang cenderung mengalami
degradasi moral adalah akibat pendidikan
masa lalu, maka hal ini hendaknya
menjadi pelajaran bersama untuk lebih memperhatikan pendidikan yang
mengutamakan pembentukan akhlak mulia.
Kemudian, bagaimana sikap kita tatkala mencermati hal tersebut?
Langkah yang perlu dilakukan adalah mengupayakan kembali pembinaan akhlak di
rumah sekolah,dan masyarakat. Pembinaan akhlak di berbagai kehidupan akan mampu
memberi efek pencucian jiwa yang terlanjur beku oleh perilaku yang tertuju
kepada perusakan ranah moralitas dan
akhlak. Pembinaan akhlak di rumah perlu kembali dievaluasi dan dintensifkan,
hal ini mengingat pendidikan akhlak di rumah dan perang orang tua sangat
penting. Karena anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka orang tuanya yang
menjadikannya Yahudi, Nasranai ataupun Majusi. Hal ini juga telah diingatkan
oleh Nabi Muammahd Saw sebagai berikut,” tidaklah seorang anak itu dilahirkan,
kecuali ia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka orang tuanyalah yang
menjadikannya Yahudi, Nasranai ataupun Majusi.”(HR. Bukhari).
Dari hadis ini dapat
dipahami bahwa sebenarnya peran dari orang tua sangat penting dalam membentuk akhlak.
Ketika pendidikan, pembentukan kerpibadian diabaikan , maka dapat diprediksi
perilaku anak yang tidak mendapatkan pendidikan
agama yang kuat di keluarganya akan cenderung bersikap amoral, berbuat dan
bertingkah laku menyimpang dari nilai-nilai
agama.
Jika, pembinaan keagamaan di
rumah tangga belum maksimal, maka mulai saat ini kita hendaknya bersepakat
untuk meneguhkan dan memulai kembali pembinaan
keagamaan di rumah tangga secara maksimal dan berkelanjutan. Jika hal
ini dapat dilakukan oleh setiap keluarga di Ranah Minangkabau ini, maka dimungkinkan
lambat laun degradasi moral dapat kita kikis dan kita
cegah. Tidak ada kata terlambat untuk memulai yang lebih baik. Ketika disetiap keluarga telah mapan dan
telah menerapkan pembinaan agama dengan baik, maka diharapkan terjadi perubahan
perilaku ditengah masyarakat.
Dalam upaya peningkatan
kembali pembinaan dan pembiasaan perilaku agama di rumah tangga kita perlu
mencontoh bagimana Lukman mendidik dan membina anak-anaknya dalam hal
keagamaan. Lukman mendidik rasa agama kepada anaknya dapat dipahami dari firman
Allah sebagai berikut.”Hai anakku,
dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah
(mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa
kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh
Allah).”(QS. Lukman: 17).
Jika mencontoh bagaimana Lukman menanamkan rasa keagamaan kepada anak-anaknya,
maka langkah perlu dilakukan oleh para
orang tua dewasa ini adalah bagaimana menanamkan rasa ketuhanan kepada anak.
Jika hal ini telah dilakukan dengan baik oleh para orang tua, maka degradasi moral dapat dicegah sedini mungkin,
bahkan ateisme dapat dicegah.
Azyumardi Azra, yang pernah menyatakan bahwa orang Minangkabau
terjebak dalam materialisme, sehingga mereka bangga menyekolahkan anak-anak mereka di perguruan
tinggi umum,dengan harapan akan lebih membawa harapan lebih baik, jika
dibandingkan sekolah dan kuliah di sekolah agama dan perguruan tinggi agama.
Tidak heran, jika pendidikan yang berabu agam di Ranah Minagkabau mengalami
pasang surut, kalau tidak dkatakan jalan
ditempat.
Atau barangkali, Ranah Minangkabau telah mendapatkan karma dari
perilaku tidak adil terhadap pendidikan agama atau pendidikan yang berbau
agama, mungkin disatu sisi pendidikan non agama menjadi idola dan menjanjikan
di sisi duniawi, akan tetapi di sisi lain, ada hal yang dilupakan, yaitu
pendidikan akhlak terabaikan, pembinaan akhlak menjadi terdangkalkan. Maka
tidak heran jika hari ini peristiwa seks
bebas, seks di luar nikah, mesum terus terjadi di Ranah Minang ini.
Untuk itu perlu kiranya kita
kembali menapaki dan meyakini bahwa pendidikan keagamaan itu penting, pembinaan
keagamaan di rumah, sekolah dan
masyarakat juga penting dalam upaya
mencegah degradasi moral di Ranah
Minangkabau. Kita hendaknya menyadari dan merenungi firman Allah sebagai
berikut: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa
yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan”(QS. At-Tahrim: 6) hendaknya kita perteguh keimanan, perteguh
kembali penjagaan, pemeliharaan terhadap
keluarga dan anak-anak kita agar terbebas dari api neraka, baik neraka dunia
maupun neraka akherat. Hal ini tentunya makin menyadarkan kita bahwa agama akan
mampu mendobrak degradasi moral di Ranah Minangkabau ini, dan menggantinya dengan
akhlak mulia.
No comments:
Post a Comment