BLOG RIWAYAT ATTUBANI(RIWATT) tentang Pendidikan, Tafsir, Artikel, Puisi, Motivasi, AlQuran dan Hadis

06 December 2008

. Selintas Tentang Tasauf

Dalam memberikan batasan (mendefinisikan) tasawuf. kebanyakan
condong pada segi akhlak. Kencenderungan ini telah tersebar. s:k di lingkungan kaum sufi sendiri maupun para peneliti dan sejarawan tasauf. Di sini akan kami sebutkan beberapa contoh kecenderungan. Syeikh Abu Bakar Muhammad Al-Kattani (wafat tahun 322 H)
1) berkata, ‘Tasawuf adalah akhlak maka barang siapa yang bertambah baik akhlaknya, tentulah akan bertambah mantap tasawufnya (semakin bersih hatmya).”
A r-Risalah Al-Qusyairiyyah meriwayatkan, “Ketika Abu Muhammad Al-Jariiri (wafat tahun 311 H
ditanya tentang tasawuf’, ia menjawab: Artinya: “Tasawufberarti mernasuki setiap akhlak yang mulia dan keluar dan setiap akhlak yang tercela.

Salah satu definisi yang dikemukakan Abul Husain An-Nun (wafat tahun 295 H), sebagaimana disebutkan dalam kitab Tadzkiratul Auliyaa, merupakan penyangkalannya dan mereka yang mengatakan bahwa tasawuf merupakan bentuk atau suatu ilmu. Ia memberi batasan bahwa tasawuf adalah akhlak. Abul Husain An-Nun Rahirnahumullah berkata. “Tasawuf bukan merupakan suatu bentuk atau ilmu, tetapi ia adalah akhlak. Jika tasawuf merupakan suatu bentuk, tentu ia akan dapat dicapai dcngan perjuangan. Begitu juga jika tasawuf itu merupakan suatu ilmu tentu dapat dicapai dengan cara belajar. Namun, tasawuf berakhlak dengan akhlak Allah, sedangkan akhlak Ilahi tidak akan dapat dicapai dengan ilmu atau gambaran (rasman).

Syeikh Abul Husain An-Nun 3) juga memberi batasan dalam definisi
yang lain, yaitu akhlak yang membentuk tasawuf: Artinya: Tasawuf adalah kernerdekaan, kemurahan, tidak membebani diri, serta dermawan.” Kecenderungan pada segi akhlak dalam mendefinisikan tasawuf ini tersiar di Timur maupun di Barat, dan terkenal sejak zaman dulu hingga kini. Meskipun begitu, ia tidak mengungkap tasawuf secara terinci.

Sekalipun menyebut definisi tasawuf dan segi akhlak, mereka juga menyebut definisi lain, yang setidak-tidaknva menunjukkan sesuatu yang tidalc meragukan. yaitu mereka tidak merasa cukup pada segi akhlak dalam membuat batasan tentang tasawuf. serta dalam mendefinisikannya. Yang jelas, bila kami melihat pada pribadi-pribadi yang ternama dalam segi keluhuran akhlak dan memiliki sifat-sifat akhlak paling indah. serta mengambil keutamaan tertinggi sebagai madzhab dan pedoman, itulah pribadi-pribadi yang bisa kami teladani dalam hngkungan akhlak dan masyarakat. Narnun. bukan berarti mereka harus dan golongan sufi. Seandainya melihat pada masyarakat Yunani, kita akan mendapati seseorang yang menyeru pada keutamaan dan bertujuan demikian. serta berusaha menyiarkan dengan berbagai cara. Yang demikian ini sama halnya dengan dakwah yang meyakinkan. atau logika yang mengarah pada perdebatan, atau peneladanan yang sangat mulia. Dialah Socrates.

Meskipun begitu, Socrates bukanlah seorang sufi dengan arti yang tepat pada kata shufi. Jika melihat pada masyarakat Islam. kita akan mendapatkan Imam Al-Hasan Al-Bashri. semoga Allah meridainya. Adalah pribadi yang cemerlang dan sun teladan yang benar bagi akhlak luhur. serta dalam kesucian dan kejernihannya. Ia selalu menyiarkan kemuliaan yang tinggi dengan petuahnya yang berpengaruh dan ucapannya yang mantap. serta suluk-nya yang dijadikan sebagai contoh.

Meskipun begitu. Al-Hasan AlBashri bukanlah seorang sufi dalam arti yang tepat pada kata shufi. Berdasarkan suatu akhlak yang luhur merupakan dasar tasawuf. dan akhlak dalam bentuknva yang paling tinggi adalah buah tasawuf. Tentu saja. suatu akhlak yang utama merupakan semboyan sufi. di antara dasar dan buahnya. Dengan demikian. akhlak akan selalu menyertai para sufi. Namun, bukan berarti akhlak tersebut adalah tasawuf. Yang perlu diperhatikan dalam masalah ini adalah berikut ini.
Pertama, pada waktu yang lalu ada kecenderungan mendefinisikan tasawuf dengan zuhud. Ketika orang mendengar kata tashawwuf ia pasti akan memahami makna zuhud. Adapun kata
shufi diartikan sebagai zuhud terhadap dunia.

Hal yang tidak mungkin diragukan lagi. yaitu para sufi ialah orang-orang yang hatinva tidak lagi berkaitan dengan keduniaan, sekalipun ia merupakan seorang jutawan. Zuhud pada dunia merupakan sesuatu yang lain. Tasawuf pun merupakan perkara yang lain lagi. Tidak lazim bahwa :ahid-nya seorang sufi berarti kezuhudan bagi tasawuf. Kedua, orang yang mencampuradukkan antara seorang sufi dan seorang abid (ahli ibadah). Jika mereka melihat atau mendengar tentang orang yang banyak melakukan ibadah, mereka akan menyebutnya sebagai seorang sufi. Padahal ada pula pribadi-pribadi yang menegakkan shalat fardu. memperbanyak sunah dan menekuni ibadah. namun bukan berarti mereka adalah golongan sufi. Karena banyaknya orang yang mencampuradukkan antara seorang zahid, ‘abid, dan sufi, lbnu Sina berusaha membedakan ketiga golongan tersebut dan tujuannya masing-masing.

Ibnu Sina dalam kitabnya Al-isyaarah menyebutkan: pertama, Seorang yang menjauhi kesenangan dan kenikmatan duniawi dinamakan az-zahid. Kedua, Seorang yang menekuni ibadah-ibadah dengan shalat, puasa. dan lain- lain dinamakan ‘abid. Seorang yang memusatkan pikirannya pada kesucian Tuhannya dan mengharap terbitnya cahaya Al-Haqq dalam hatinya dinamakan al ‘arif Al- ‘arifini adalah ash-shufi. Kemudian Ibnu Sina mengatakan (sebagaimana dikatakan selain Ibnu Sina), “Seorang zahid adakalanya seorang ‘abid. Begitu pula, seorang ‘abid adakalanya seorang zahid.

Semua telah sepakat bahwa kezuhudan seorang yang bukan sufi bertujuan untuk dapat menikmati urusan akhirat. Hal itu sejenis muamalah, yaitu seakan-akan ia menjual kesenangan dunia untuk mendapat imbalan kesenangan akhirat. Adapun kezuhudan seorang sufi bertujuan untuk membersihkan diri dan sesuatu yang dapat melalaikannya dan Allah ‘Azza wa Jalla. Ibadah orang yang bukan sufi bertujuan untuk dapat masuk surga. Seakan-akan ia beramal di dunia ini untuk rnengharap upah yang kelak akan diterimanya di akhirat, yaitu ganjaran dan pahala, seperti seorang yang bekerja sepanjang han untuk mendapatkan upah pada sore harinya. Adapun ibadah orang sufi bertujuan mengekalkan hubungan dirinya dengan Allah ‘Azza wa Jalla. Ta beribadah menyembah Allah karena hanya Allah-lah yang patut untuk disembah. Jadi, ibadahnya merupakan hubungan yang utama dengan Allah Ta’ala, bukan untuk mengharap sesuatu ataupun karena takut akan sesuatu.[1]

Dari beberapa defenisi tersebut dapat dipahami bahwa tasauf adalah jalan dan tujuan untuk mencapai ridho Allah, jalan menuju kesucian hati yang bertujuan mencari ridho Allah. Dengan demikian makin jelaslah bahwa bertasauf maka konsekuensnya adalah kemauan untuk selalu menjaga hati agar tetap bersih, bersih adari segala sesuatu yang dimurkai dan tidak disukai oleh Allah.

Tasauf merupakan satu diantara mistisisme, yang dalam bahasa Inggris disebut dengan sufisme. Orang yang bertasauf disebut sufi. Para pakar berbeda pendapat tentang asal mula kata tasauf, tetapi yang jelas adalah bahwa esensi tasauf adalah sebagai pengalaman rohani yang tidak dapat dijelaskan secara lisan.

Dengan demikian tak satupun manusia yang mempunyai pandangan dan pengalaman yang sama dalam hal bertasauf. Penghayatan dan pengalaman bertasauf akan berbeda satu dengan lainnya. Pengalaman batin orang yang bertasauf berbeda dan tidak akan pernah sama. Dengan demikian pengalaman rohani yang mereka alamai juga berbeda. Lebih dari itu dengan adanya pengalaman kerohanian yang berbeda akan berakibar kepada pengungkapan pengalaman berbeda juga.

Apa sebenarnya tasauf itu? Untuk menjawab hal ini dapat diketahui dengan pemahaman terhadap karakteristik tasauf dan mistisisme secara umum. Di antara lima ciri khas dari tasauf adalah, pertama, tasauf secara umum memiliki obsesi untuk kedamaian dan kebahagiaan spiritual abadi. Kedua, tasauf adalah semacam pengetahuan yang diperoleh melalui pengetahuan langsung lewat tanggapan intuisi. ketiga, pada setiap perjalanan sufi berawal dari dari dan untuk peningkatan kualitas moral yaitu pemurnian jiwa melalui latihan yang keras dan berkesinambungan. Keempat, peleburan diri pada kehendak Tuhan melalui fana, baik dalam pengertian simbolis atributis maupun substansial. Kelima penggunaan kata simbolis dalam pengungkapan pengalaman.[2]

Menurut para sufi untuk mengantarkan seseorang kehadirat Allah adalah dengan kesucian jiwa. Menurut para sufi jiwa manusia merupakan refleksi atau pancaran dari cahaya ilahi yang suci. Dengan demikian jika ingin dekat kepada Allah maka jiwa harus dibersihkan, jiwa harus disucikan. Sebaliknya jika hati seseorang tidak bersiah tidak suci amak cahaya Ilahi tidak akan masuk dalam jiwanya.



[1] Lebih lanjut, baca Abdul Halim Mahmud, Tasauf di Dunia Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), h.

[2] A. Rivay Siregar, Tasauf dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme,(Jakarta:RajaGrafindo Persada, 1999),

No comments:

Featured Post

Azyumardi Azra Dibawa ke Rumah Sakit di Malaysia karena Sesak Napas "

  Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra dibawa ke Rumah Sakit Serdang, Selangor, tak lama setelah tiba di Bandara Internasional Kuala Lumpur, Mala...

Popular Posts

Followers

Back To Top